Video Pernikahan, Seminar, Wisuda, Dokumenter, Profile Perusahaan / Organisasi, Event Outdoor / Indoor dan Segala Jenis Dokumentasi Audio Visual. Kami Abadikan Yang Terbaik Untuk Anda. ( SEUKEE Production 0812-691-6697 )

Tulisan


Tari Kreasi Baru Yang Berpolakan Tradisi

Pendahuluan
Salam sejahtera to kita semua…

Dalam penulisan tentang tari kali ini saya ingin berbagi ilmu mengenai bagaimana kita melihat dari sisi yang terpenting, ada langkah yang harus diketahui sebelum masuk pada penggarapan. Seni tari yang sering kita jumpai di sanggar-sanggar  tari, biasanya hanya mempelajari teknik geraknya saja, sementara pengetahuan tentang latar belakang dan ruang likup tari itu sendiri sangat sedikit dipelajari, mungkin dari catatan saya ini bisa saling berbagi pada teman/ kawan dan sahabat yg seprofesi.

Pengertian tari ;

Seni adalah pengalaman dalam bentuk medium indrawi yang menarik dan di tata dengan rapi, yang di wujudkan untuk dikomunikasikan dan di renungkan. Seni adalah karya manusia yang dapat menimbulkan rasa senang dalam rohaniahnya.
Kekayaan Seni Tari
Berdasarkan unsur-unsur gerak. Unsur-unsur yang terdapat dalam gerak tari
terdiri dari :
1. Tenaga: Unsur tenaga terdapat pada intensitas tekanan atau aksen dan Kualitas pengaliran energi untuk mewujudkan gerak yang diharapkan.
2. Unsur Ruang: Unsur ruang terdapat pada perlakuan melakukan bentuk – bentuk dan arah gerak disesuaikan dengan tuntutan kesesuaiannya baik dengan ruang pribadi maupun ruang umum. 
Ruang pribadi; diartikan sebagai ungkapan gerak tubuh yang berkaitan dengan volume atau ukuran besar kecilnya atau terbuka dan tertutupnya gerak, level atau ukuran tinggi rendahnya posisi tubuh padasaat melakukan gerakan dalam keadaan ditempat. 
Ruang umum; diartikan sebagai ungkapan gerak tubuh “ruang pribadi”, yang dilakukan berkesinambungan sehingga menimbulkanperpindahan tempat dari satu tempat ke tempat lain, atau yang disebut arah hidup (arah bergerak).
3. Waktu
Unsur waktu dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :Irama, yaitu suatu ukuran/ketetapan waktu yang dijadikan patokan atau pijakan/ rel pada saat melakukan gerak (lambat, sedang, cepat).
Ritme, yaitu pengaturan waktu melakukan rangkaian gerak dalam patokan irama tertentu. 
Tempo,yaitu ukuran waktu yang dipergunakan dalam melakukan suatu ragam gerak tari. Waktu yang diukur oleh perasaan pelaku disesuaikan dengan rasa irama/musikalitasnya 

1. Tari Tradisional
Tari tradisional adalah tari yang telah melampaui perjalanan perkembangannya cukup lama, dan senantiasa berfikir pada pola-pola yang telah mentradisi.
Tari tradisional, yaitu tari yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat. Pada jaman feodal di Indonesia dengan munculnya kerajaan Hindu pada sekitar tahun 400 M. Tari yang hidup di kalangan rakyat sesuai dengan kehidupan sosial masyarakatnya, masih sederhana dan banyak berpijak warisan seni tradisional. Faktor alam serta lingkungan dan agama/kepercayaan, sangat berpengaruh terhadap bentuk-bentuk seni tarinya. Sehingga tari tradisional masyarakat sangat beraneka ragam sesuai dengan kondisi rakyatnya, alam dan agama/kepercayaannya.

2. TariKreasi
Yang dimaksud dengan tari kreasi di sini adalah suatu bentuk garapan/karya tari setelah bentuk-bentuk tari tradisi hidup berkembang cukup lama di masyarakat. Bentuk tarian ini bermunculan sebagai ungkapan rasa bebas, mulai ada gejalanya setelah Indonesia merdeka padatahun 1945. Kebebasan ini mendorong pula kreativitas para seniman tari, setelah melihat/merasakan ada perubahan jaman dalam kehidupan masyarakat dan menjadikan motivasi untuk membuat karya-karya baru memenuhi kebutuhan jaman, Pada garis besarnya tari kreasi dibedakan menjadi dua golongan yaitu:

1.Tari Kreasi Baru Berpolakan Tradisi
Yaitu tari kreasi yang garapannya dilandasi oleh kaidah-kaidah tari tradisi, baik dalam koreografi, musik, rias dan busana, maupun tata teknik pentasnya. Walaupun ada pengembangan tidak menghilangkan esensi ketradisiannya.

2.Tari Kreasi Baru Tidak Berpolakan Tradisi (Non Tradisi)
Tari Kreasi yang garapannya melepaskan diri pola-pola tradisi baik dalam hal koreografi, musik, rias dan busana, maupun tata teknik pentasnya. Walaupun tarian ini tidak menggunakan pola-pola tradisi, tidak berarti sama sekali tidak menggunakan unsur-unsur tari tradisi, mungkin saja masih menggunakannya tergantung pada konsep gagasan penggarapnya. Tarian ini disebut juga tari modern, yang istilahnya berasal dari kata Latin “modo” yang berarti baru saja
Kekayaan Tari Berdasarkan tema
Yang dimaksud dengan tema di dalam tari ialah kandungan isi ungkapan koreografi yang sesuai dengan konsep garapannya. Berdasarkan tema yang digarap, komposisi tari dapat dibedakan antara yang diolah berdasarkan tema literer dan non literer. Komposisi tari literer adalah komposisi tari yang digarap dengan tujuan untuk menyampaikan pesan-pesanseperti : ceritera, pengalaman pribadi, interpretasi karya sastra, dongeng, legenda, ceritera rakyat, sejarah dan sebagainya. Sedangkan komposisi tari non literer adalah komposisi tari yang semata-mata diolah berdasarkan penjelajahan dan penggarapan keindahan unsur-unsur gerak: ruang, waktu dan tenaga. Bentuk yang kedua ini dapat digarap berdasarkan pengembangan berbagai macam aspek: interpretasi (tafsiran) musik, penjelajahan gerak, eksplorasi permainan suara, permainan cahaya atau unsur-unsur estetislainnya (Sal Murgiyanto,1986:123).
Dengan demikian tema literer yang terkandung dalam tari terdiri dari : ketuhanan, kemanusiaan, alam dan binatang, dan ungkapan isinya tentang erotik (percintaan/kebirahian), heroik (kepahlawanan), pantomimik(peniruan) dan komikal (komedi)

Penutup
Dari uraian yang saya tuliskan dalam catatan ini, bahwa seni tari merupakan sebuah karya manusia yang diekspresikan dalam gerak – gerak yang indah.
Konsep garapan pada seni tari terbagi menjadi tari tradisional dan tari
kreasi dengan tema Literer dan Non Literer sebagai acuan konsep garapan
semoga dari catatan ini kita bisa lebih melihat hal-hal yang dapat membuat kita terus berkarya dengan konsep dasar sebuah perubahan pada kekurangan-kekurangan masa lalu.

Banda 06 Oktober 2010

Penulis Oleh ; Kaka Zafana
jejak langkah ku


Pembelajaran Sebuah Konsep Karya Dalam Seni Tari

Salam sejahtera to sahabat-sahabat, semoga kita dapat berbagi dalam hal pengem bangan dan pemahaman dalam seni tari.

Tari adalah gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran.         Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari mengatur gerakan penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan.

Nah, bagaimanakah cara kita mengawali pikiran dasar untuk konsep pencapaian pada karya kita, ada beberapalangkah yang harus kita ketahui disini. Tuliskanlah dasar pikiran yang rasional dari keinginan kamu mengangkat sebuah obyek, atau apapun yang secara kuat mendorong perasaan untuk mengetengahkan sebuah ungkapan.


Contoh ;
- Apa yang mendorong keinginan kamu untuk menciptakan sebuah tarian…
- Kapan dorongan itu terjadi dan dimana…
- Mengapa dorongan obyek itu sangat kuat sehingga kamu sangat terkesan…
- Bagaimana efek atau pengaruh jika obyek itu kamu tarikan…
- Apa harapan kamu jika obyek itu berhasil diangkat menjadi sebuah karya tari…

Pertanyaan ini penting dalam kita menargetkan sesuatu objek yang akan kita maksudkan. Setelah kamu mampu menjabarkan latar belakang untuk menciptakan sebuah koreografi, kemudian melangkah pada pemilihan tema garapan tari.
Contoh ;

Pemilihan tema tari dari obyek yang telah kamu pastikan, coba dicari masalah utamanya (pokok) yaitu yang disebut dengan Premise. Premise adalah rumusan yang mengetengahkan masalah utama yang hendak diungkapkan, setiap karya tari selalu memiliki landasan ideal ini, yaitu guna menentukan arah dan tujuan pokok lakon, sedangkan fungsi premise pada aspek teknis merupakan landasan untuk membentuk pola kontruksi.
- meusare-sare ; aktifitas masyarakat pedesaan dan pesisir.
- dll.

Premise dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Geudumbak : Perjodohan dua Insan.

Setelah premise dari sebuah obyek ditemukan dan dapat dirumuskan, kemudian baru menentukan tema. Di mana tema itu berfungsi merumuskan premise dengan cara menguraikan secara mendalam. Maka hal tersebut sangat bergantung sekali dengan sudut pandang penggarap (koreografer). Tidak mustahil jika sebuah obyek dengan premise yang sama akan melahirkan ungkapan yang berbeda. Hal ini dikarenakan tekanan dari tema yang akan dibangun. Tema yang baik adalah suatu pendeskripsian premise yang mampu mendorong terbangunnya sebuah jalinan pemikiran yang konstruktif dan terarah.

Geudumbak dengan premise: perjodohan dua insan dapat dirumuskan temanya sebagai berikut:

perjodohan dua insan yang telah ditentukan adatnya ataupun oleh paksaan orang tua.

Setelah dapat merumuskan tema, maka kemudian menentukan judul: berikan judul garapan, yang paling penting adalah sesuai dengan tema. Semua bentuk penyajian tari pasti memiliki alur yang saling berkaitan. Jalinan alur tersebut akan dapat ditangkap sebuah makna rangkaian perjalanan. Ungkapan yang menekankan sebuah aspek naratifnya akan tampak jelas cerita yang disampaikan, tetapi tidak jarang ada ungkapan tari yang tidak menampakkan aspek naratifnya. Biasanya ungkapan yang demikian itu disebut penyajian simbolik. Jika orang mengambil dari beberapa sumber cerita, maka bagian ini dapat dikembangkan penjelasannya.

Sumber Pendukung

Pada bagian ini bertujuan memperkuat keyakinan kamu akan obyek, yang ditangkap tidak hanya atas dasar kesan sesaat. Tetapi secara diketahui dengan benar, bahkan dikuasai betul seluk beluknya. Untuk itu perlu merujuk beberapa sumber pendukung yaitu dari buku (Literatur), hasil wawancara, pengalaman dan atau apa saja yang dapat memperkuat ide atau gagasan.

Materi Garapan

Pilihlah materi gerak apa saja yang dipergunakan untuk menyusun tarian. Hal ini akan mempermudah kamu dalam melakukan proses pelatihan dasar terhadap penari-penarinya. pemilihan materi musik yang dipergunakan untuk mendukung tarian, Pengembangan Model Materi Tari Bagian ini cara dan bagaimana kamu memulai Mengembangkan Gerakan. ini merupakan proses dari ide semula, Ada beberapa cara, yaitu:

Gunakan pendengar

Apabila kamu terkesan oleh adanya obyek tari lewat pendengaran, misalnya: bunyi sebuah alunan musik, tangisan, rintihan dan banyak lagi. Jika kamu berangkat dari ini, maka seluruh pola kerja kamu harus mempertimbangkan aspek tersebut. Sebab gerak tubuh manusia juga mempunyai kemampuan untuk memvisualisasikan hal-hal semacam ini.

Penglihan Mata

Kadang seseorang tiba-tiba mendapat rangsangan dari penglihatan. penglihatan ini salah satu bentuk pengembangan materi yang cukup populer. Karena penglihatan itu salah satu indera yang cukup tajam dalam menangkap kesan, bentuk, warna atau kualitas permukaan. Maka pola pengembangan materi gerak lebih difokuskan pada kesan fesik

Dengan Sentuhan/ Raba

Rangsang ini berasal dari kesan permukaan rasa bahan. Rangsang rabaan ini biasanya tidak langsung mewujudkan bentuk-bentuk gerak, tetapi melalui proses asosiasi. maka sering kali rabaan sebagai sebuah sarana yang berikutnya melahirkan gagasan bentuk gerak tertentu.

Ide/ Gagasan

Rangsangan ini berawal atas kesan-kesan tertentu yang menarik seperti membaca buku atau mengangan-angankan sesuatu, menikmati panorama yang indah dan lain-lain. Jika kamu secara sengaja telah berusaha untuk menangkap suatu kesan dari sini. Cara pengembangan materi gerak semacam ini sangat menguntungkan bagi kamu. Karena akan muncul berbagai kemungkinan gerak dari berbagai Penari-penari yang sangat beragam dan memungkinkan untuk tari dikomunitas kamu, karena ada kendala tertentu yang sering kali menghambat dari penari-penari. Tari klasik dan tari-tari tradisi membuat anak-anak merasa kesulitan. Beberapa pengembangan materi dengan menekankan pada sumber dari dasar gerak sampai pada perkembangannya. Maka pemilihan materinya sudah barang tentu sesuai dengan ide pokoknya.

Penutup

Seperti telah disebutkan di atas, berbagai hal yang meliputi cara, penuntun pola dasar Ide/ Konsep materi dasar gerak, trik-trik pengarapan sebuah karya seni tari dapat dikemukakan. Maka bukan tidak mungkin ada cara-cara tertentu yang lebih baik, tetapi secara mendasar sebuah karya seni tari adalah suatu konsep yang mampu menuntut koreografer.



TENTANG TARI (TUBUH DAN RUANG)

Sebagai suatu peristiwa seni, sebuah seni tari biasanya mengandung sebuah ruang bertemunya gagasan (forum dialog), jika tidak ruang jelajah dan pematangan gagasan-gagasan, di dunia tari kreasibaru, sejarah mencatat bagaimana ajang event bisa menentukan arah maupun gerakan artistik yang sesuai konteks jamannya.

Tari dapat berarti banyak hal. Di jaman sebelumnya, tari (baik di Aceh maupun Nusantara) adalah semata-mata ekspresi ritual yang menghubungkan manusia dengan dunia transendental. Di suatu saat, tempat dan masyarakat tertentu, tari eksis sebagai ekspresi masyarakat agraris yang mengaitkan perayaan siklus tani/peisir dengan perayaan-perayaan sosial.

Di paruh jaman ketika modernitas muncul dan menggejala secara luas, seni tari bisa berarti praktek representasional (representational practice) atau praktek kritikal (critical practice) yang melibatkan konsepsi tubuh/ruang (garis miring di sini berfungsi sebagai pola – atau ‘interface’  - hubungan kedua unsur ini sebagai dua buah konsep yang saling berhubungan, bukannya terpisah). Namun apa yang tersaji di pentas, adalah sesuatu yang berbeda.

Sesungguhnya, ada beberapa gagasan menarik yang potensial dijelajahi dalam konsepsi seni tari yang kuat. Karya yang benar-benar berakar dari tradisi lokal tertentu, seperti komposisi baru Zapin Munajad karya Kaka Zafana dan ataupun murni tradisi baru Cangklak yang ditarikan Sanggar Rampoe, misalnya, ditampilkan dalam bingkai konteks yang madern. Apakah kedua karya tadi semata-mata hadir sebagai ‘syarat’ akan sebuah tradisi yang bisa jadi terancam punah; ataukah ditempatkan untuk berdialog dengan karya-karya baru penari/koreografer muda yang bisa jadi mengambil inspirasi dari bentuk-bentuk tradisi yang di masa lalu sudah menjadi baku.

Dilihat dari sudut pandang kosepsi tubuh/ruang, tari tradisi di sini ditempatkan sebagai tubuh masa lalu yang lalu lalang di ruang yang statis – padahal tari adalah tubuh yang bergerak sebagai arus di ruang yang tidak soliter. Ia bagian dari tertentu yang akan bermakna jika dikontekstualisasikan. Sebagian besar karya mencerminkan keadaan tari (khususnya tari kreasibaru) Aceh beberapa tahun belakangan ini, yang seolah terjebak di pendangkalan gagasan dan miskinnya wawasan tentang persoalan-persoalan seputar tari (tubuh, ruang, gerak, diskusi/dialog diskursif tentang tema-tema naratif) maupun problematik-problematik yang mengitarinya.
Selebihnya, meski tampil dengan tubuh yang indah (dan beberapa) dilengkapi dengan teknik gerak yang intens dan eksploratif, karya para penari/koreografer masih lemah dalam mengemukakan sesuatu secara konseptual. Gagasan-gagasan menarik tergelincir dalam stereotip-stereotip pertunjukan tari yang mengisi panggung dengan properti, namun tanpa garis merah konseptual yang menjelaskan sesaknya mereka di sana. apalagi dunia. Sangat ironis, mengingat kekayaan tradisi tubuh/gerak/tari Nusantara yang pontensial melahirkan karya-karya dan wacana tari sebagai re-presentasi kultural yang bukan berharga semata-mata karena keragaman identitasnya, tapi juga menjadi landasan di mana praktek kritikal bisa berlangsung.


Bagaimanapun, di tengah absennya infrastruktur seni yang memadai, minimnya sumber daya dan kebingungan bidang pendidikan seni menanggapi seni tari kreasibaru yang sering berujung dengan kecenderungan mengisolasi diri dari perkembangan di luar, sebuah upaya lokal seperti penyelenggaraan Workshoop, seminar, dan event-event Festival dengan segala kelebihan dan kekurangannya - patut disemangati. Namun apapun kesulitannya, selayaknya substansi tetap mendapat tempat utama, sehingga perbaikan selayaknya menjadi agenda pengelola sebagai fasilitator sebuah peristiwa berkesenian.

Dan hal ini bisa diterjemakan ke dalam pemograman yang lebih kritis (dengan bantuan jejaring tari yang ada), keterbukaan dalam mengelola, serta perencanaan festival yang matang dan seharusnya bisa dimulai dari jauh-jauh hari. Sehingga para koreografer-penari punya waktu cukup untuk mempersiapkan karyanya.



Banda Aceh, 21 Oktober 2010




Pengertian Seni
Kata "seni" adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata "Sani" yang kurang lebih artinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa". Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan dari seorang/seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilmu di eropa mengatakan "ART" (artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan.
Saya melihat makna Seni lebih pada nilai makna yang terkandung malah sampai pada kandungan proses pelaksanaan karya hingga menjadi sebuah karya seni. Seni pun tidak melulu selalu mengenai suara, visual dan keindahan. Hal tersebut bisa ditemui, dengan adanya contoh seperti Seni Perang dan Seni Bercocok Tanam yang berkaitan dengan proses "memancing" dan "menunggu" hasil yang tidak selalu hasilnya adalah keindahan, bisa saja berupa teror visual hingga emosi. Tentu seni, berkaitan dengan pengolahan dan intensitas perasaan mengenai estetik hingga obsesi yang menyangkut inovasi-estetika-moral dari seorang seniman ketika berseni dalam kaitan trend pada pengaruh masa atau zaman yang berlangsung. Namun kita tidaka usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalau kita memperdebatkan makna yang seperti ini akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka. Toh pada dasarnya seni itu proses elemen-elemen dasar untuk pencapaian sebuah keindahan.
 Pengertian Budaya
 Dari hasil pengamatan saya juga sumber-sumber yang saya dapatkan budaya berasal dari kata budi-daya. Sebuah kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal yang menjadi kebiasaan sampai pedoman khalayak banyak.
kebudayaan adalah ekspresi dari suatu kelompok/masyarakat, untuk menciptakan sesuatu yang berasal dari akal budi dan daya, yang bertujuan mempertinggi kehidupan kemanusiaan. faktor dasarnya adalah, tradisi, adat, agama, seni, ilmu pengetahuan tehnologi, ekonomi dan politik.
Yang sudah pasti sesuatu kegiatan yang di wariskan oleh para leluhur, yang punya arti sebenarnya tatanan kehidupan dan sangat sakral mempunyai nilai filosofi kehidupan yg tinggi namun tak lepas baik hukum adat istiadat ataupun aqidah/keimanan setiap suku2nya.
 Pengertian Seni Tari
Seni adalah pengalaman dalam bentuk medium indrawi yang menarik dan di tata dengan rapi, yang di wujudkan untuk di komunikasikan dan di renungkan. Seni adalah karya manusia yang dapat menimbulkan rasa senang dalam rohani kita. Menurut Herbert Read “seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Bentuk yang demikian itu memuaskan kesadaran keindahan kita dan rasa indah ini terpenuhi bila kita menemukan kesatuan atau harmoni dari hubungan bentuk-bentuk yang kita amati itu”.
Keindahan adalah sesuatu yang dapat menimbulkan rasa senang dan seni adalah keindahan.
Tari merupakan salah satu bentuk kesenian yang memiliki media ungkap atau substansi gerak, dan gerak yang terungkap adalah gerak manusia. Gerak- gerak dalam tari bukanlah gerak realistis atau gerak keseharian, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif.
Gerak ekspresif ialah gerak yang indah, yang bisa menggetarkan perasaan manusia. Gerak yang di stilir mengandung ritme tertentu,yang dapat memberikan kepuasan batin manusia. Gerak yang indah bukan hanya gerak-gerak yang halus saja, tetapi gerak-gerak yang kasar, keras, kuat, penuh dengan tekanan-tekanan, serta gerak anehpun dapat merupakan gerak yang indah. Gerak merupakan elemen pertama dalam tari, maka ritme merupakan elemen kedua yang juga sangat penting dalam tari.
Soedarsono mengetengahkan sebuah definisi “Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang di ungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah. untuk menghasilkan gerak yang indah membutuhkan proses pengolahan atau penggarapan terlebih dahulu, pengolahan unsur keindahannya bersipat stilatif dan distortif.”
1.            Gerak Stilatif yaitu: gerak yang telah mengalami proses pengolaha (penghalusan) yang mengarah pada bentuk-bentuk yang indah.
2.            Gerak Distortif yaitu: pengolahan gerak melalui proses perombakan dari aslinya dan merupakan salah satu proses stilasi.
Dari hasil pengolahan gerak yang telah mengalami stilasi dan distorsi lahirlah dua jenis gerak tari yaitu, gerak murni (pure movement) dan gerak maknawi.
1.            Gerak murni : dalam pengolahannya tidak mempertimbangkan suatu pengertian tertentu, yang dipentingkan factor keindahan gerak saja.
2.            Gerak maknawi : dalam pengolahannya mengandung suatu pengertian atau       maksud tertentu, disamping keindahannya. Gerak maknawi di sebut juga gerak Gesture, bersifat menirukan ( imitative dan mimitif ).
a.    Imitatif adalah gerak peniruan dari binatang dan alam.
b.  Mimitif adalah gerak peniruan dari gerak-gerik manusia.

Tari merupakan komposisi gerak, berdasarkan bentuknya ada 2 jenis tari yaitu :
1.            Tari Representasional yaitu tari yang menggambarkan sesuatu secara jelas. Tari bersumber pada kehidupan sehari-hari.
Contoh: Tari perang, tari tani dll.
1.            Tari Non Representasional yaitu tari yang tidak menggambarkan sesuatu, menekankan pada keindahan gerak semata.
Keindahan dalam seni tari tidak hanya pada gerak tubuh, untuk keutuhannya memerlukan dukungan seni lain sebagai kelengkapan seperti: busana, rias, property, musik, tata pentas, drama dan sastra. Sehingga seni tari menjadi bentuk seni yang komplek, yang mengandung beberapa macam unsur seni.
1. Tari Tradisional
Tari tradisional adalah tari yang telah melampaui perjalanan perkembangannya cukup lama, dan senantiasa berfikir pada pola-pola yang telah mentradisi.
Tari tradisional, yaitu tari yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat. Pada jaman feodal di Indonesia dengan munculnya kerajaan Hindu pada sekitar tahun 400 M. Tari yang hidup di kalangan rakyat sesuai dengan kehidupan sosial masyarakatnya, masih sederhana dan banyak berpijak warisan seni tradisional. Faktor alam serta lingkungan dan agama/kepercayaan, sangat berpengaruh terhadap bentuk-bentuk seni tarinya. Sehingga tari tradisional masyarakat sangat beraneka ragam sesuai dengan kondisi rakyatnya, alam dan agama/kepercayaannya.
 2. Tari Kreasi
Yang dimaksud dengan tari kreasi di sini adalah suatu bentuk garapan/karya tari setelah bentuk-bentuk tari tradisi hidup berkembang cukup lama di masyarakat. Bentuk tarian ini bermunculan sebagai ungkapan rasa bebas, mulai ada gejalanya setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebebasan ini mendorong pula kreativitas para seniman tari, setelah melihat/merasakan ada perubahan jaman dalam kehidupan masyarakat dan menjadikan motivasi untuk membuat karya-karya baru memenuhi kebutuhan jaman, Pada garis besarnya tari kreasi dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
1.    Tari Kreasi Baru Berpolakan Tradisi
Yaitu tari kreasi yang garapannya dilandasi oleh kaidah-kaidah tari tradisi, baik dalam koreografi, musik, rias dan busana, maupun tata teknik  pentasnya. Walaupun ada pengembangan tidak menghilangkan esensi ketradisiannya.
2.    Tari Kreasi Baru Tidak Berpolakan Tradisi (Non Tradisi)
Tari Kreasi yang garapannya melepaskan diri pola-pola tradisi baik dalam hal koreografi, musik, rias dan busana, maupun tata teknik pentasnya. Walaupun tarian ini tidak menggunakan pola-pola tradisi, tidak berarti sama sekali tidak menggunakan nsur-unsur tari tradisi, mungkin saja masih menggunakannya tergantung pada konsep gagasan penggarap-nya. Tarian ini disebut juga tari modern, yang istilahnya berasal dari kata Latin “modo” yang berarti baru saja
Unsur Islam dalam Seni dan Budaya Aceh
Kesenian Aceh pada dasarnya mempunyai ciri yang amat nyata, yaitu Islam didalamnya. Hal ini disebabkan karena pengaruh Islam yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama dalam kehidupan masyarakat Aceh masa lampau.
Dalam masyarakat Aceh masa kini ajaran Islam itu tetap dipandang sebagai nilai yang esensial dan masih sangat besar pengaruhnya sekalipun disamping itu pengaruh dari budaya modern mulai besar pula. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran. Malah dalam beberapa nilai konflik nilai-nilai dalam masyarakat Aceh sekalipun  nilai-nilai Islam masih tetap dominan.
Mari kita lihat sekilas sejarah mengenai beberapa budaya dan seni Aceh diantara sekian banyak budaya dan seni kebanggaan masyarakat Aceh.
Seudati.
Seudati merupakan perpaduan antara seni tari, seni suara, seni sastra, karena selain dari menari, para pelaku juga sekaligus meyakinkan kisah-kisah yang tersusun secara bersajak dan dilagukan dengan berbagai lagu, pada permulaan sejarahnya, seudati itu berfungsi sebagai tari pahlawan yang dilaksanakan untuk melepaskan pasukan tentara yang akan berangkat ke medan juang dalam peperangan melawan musuh,- menyambut pasukan tentara yang pulang dari medan perang, lebih kalau pasukan itu pulang dengan membawa kemenangan, media dakwah, karena dalam kisah yang diucapkan bersajak itu, dapat diselipkan berbagai ajaran yang perlu didakwahkan.
Akan tetapi kemudian oleh karena kesenian tersebut sangat digemari oleh rakyat, maka diadakan juga pada waktu-waktu yang lain, bahkan dikampung-kampung. Akhirnya fungsi berubah menjadi hiburan rakyat dan dipertandingkan dengan pemungutan bayaran. Mula-mula tidak semalam suntuk, akan tetapi waktu pertandingan terjadi berbalas kisah, karena masing-masing tidak mau kalah, maka akhirnya sampai pagi hari, mataharilah yang memisahkan kedua belah pihak, akibatnya semua orang yang menikmati hiburan tersebut terpaksa tidur semalam suntuk, tidak sempat mencari rizki untuk belanja rumah tangga, disamping itu juga lama kelamaan timbul efek samping lainnya, yaitu terjadi perzinaan dan pencurian dikampung-kampung yang bersangkutan dan yang berdekatan, oleh karena itulah ulama Aceh membencinya, malah mengharamkannya, judi haramnya itu, bukan haram zaty, artinya bukan haram seudati atau keseniannya, melainkan haram karena akibat sampingan yang merusak masyarakat, kalau hal ini dapat dihindarkan tidak masalah.
Para pelaku seudati terdiri dari delapan orang penari ditambah satu atau anak seudati yang bagus suaranya, oleh karena para seudati terdiri dari delapan orang maka dinamakan saman berasal dari bahasa Arab yang berarti delapan, dan oleh karena dalam permainan itu diceritakan bermacam-macam terutama sewaktu pertandingan, maka dinamakan ratooh.
Pakaian para penari terdiri dari baju kaos lengan panjang celana panjang berwarna hitam atau putih yang agak genting pada bagian lutut dan kain sarung sutera berlipat dua dililit dipinggang, kemudian disisi plah sebilah rencong, lambang pahlawan Aceh dihulunya diikat denga kain kuning atau hijau, dikepalanya di ikat daster sutera yang dalam bahasa Aceh disebut “tangkulok sutera”
Oleh karena seudati sangat digemari oleh segenap masyarakat Aceh, maka dalam konferensi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang berlangsung di kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada tahun 1964 dibicarakan juga hukumnya, untuk keperluan itu maka dibentuklah sebuah tim penelaah yang terdiri dari tokoh-tokoh yang bertugas dijawatan agama keresidenan Aceh, akan tetapi karena situasi belum mengizinkan karena masih berlangsungnya perlawanan fisik melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia lagi, tambah pula ada antara anggota tim itu meninggal dunia, maka tim tersebut tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Namun dalam rapat-rapat telah terdapat titik terang, asal saja dalam pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang negatif.
Rencong
Timbul Rencong di Aceh juga karena pengaruh Islam. Banyak simbol-simbol pada rencong yang memperlihatkan unsur Islam didalamnya. Didalam buku RENCONG karangan T. Syamsyuddin dan M. Nur Abas ( 1981:5) dijelaskan arti dari simbol pada rencong sebagai berikut:
- Gagang Rencong yang melekuk kemudian melebar pada bagian sikunya berupakan
  aksara arab BA
- Bujuran gagang tempat genggaman merupakan aksara SIN
- Bentuk-bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi pada gagangnya
  merupakan aksara MIM                                                         
-  Lajur-lajur besi pada pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara LAM
Ujung-ujung yang runcing dengan datar sebelah atas dan bagian bawah sedikit melekuk ke atas merupakan aksara HA.
Rangkaian dari dari aksara BA, MIM, LAM, dan HA itu mewujudkan kata, dengan demikian jelas bahwa rencong merupakan perwujudan dari ayat al-quran yang dalam bentuk alat yang tajam dijadikan sebagai alat perang guna mempertahankan agama Islam dari rong-rongan orang yang anti Islam.
Unsur Islam juga dapat ditelusuri dari cara membuatnya . untuk membuat sebuah rencong adakalanya dilakukan dengan cara ilmu ghaib yaitu dengan mengurutkan besi atau logam bahan rencong dengan  jari tangan dengan membaca mantra-mantra dari ayat al-quran sehingga ia benar-benar ampuh sebagai senjata.
Inilah sekilas tentang seni dan budaya Aceh yang penuh dengan nilai-nilai religius dan heroik, selama ini banyak daripada generasi Aceh yang tidak mengenal akan seni-budaya nenek moyang mereka, mereka lebih mengenal akan budaya-budaya asing (budaya barat) yang sama sekali tidak cocok dengan kultur kita masyarakat Aceh  ini merupaka sebuah dilema bagi kelestarian budaya yang sangat kita cintai ini, padahal seharusnya kita harus bangga dengan budaya kita itu yang berbeda dengan budaya-budaya lain yang ada di dunia ini.
Semua pihak harus bangkit dan bersatu menyelamatkan seni-budaya kita, semua kita harus mempunyai rasa memiliki dan rasa mencintai terhadapa seni-budaya yang kita miliki, setiap bangsa yang lupa akan budayanya maka bangsa tersebut akan kehilangan jati diri. Mari kita bangkitkan kembali rasa cinta terhadap budaya kita kepada segenap generasi kita sejak dini sebelum semuanya terlambat. Semoga kita dapat belajar dari hal yang semestinya, kenali dan pahamilah seni-budaya kita sebagai mana yang telah di wriskan pada generasi kita sekarang ini.
Semoga dari diskusi ini kita dapat berbagi dalam hal seni-budaya yang masih perlu pengkajian yg lebih dalam.

Wasalam……..

Banda Aceh, 4 November 2010
Ditulis ulang oleh Kaka Zafana dari berbagai sumber


Kesenian (Seniman) dan Pemerintah

 Pasca tsunami dan pasca konflik, kini berjalan tentu membawa harapan  baru pada kesenian dan seniman, sebagai mementum kebangkitan. Bagi Pemda peluang ini, memberi semangat baru untuk mengangkat kembali citra dan keunikan seni dengan berbagai tujuan pragmatiknya. Bagi para pelaku seni (seniman), kondisi ini memberi peluang strategis untuk kembali berkarya dan berkreasi, setelah sekian lama tersendat oleh kuatnya tekanan ideologi politik. pemerintah, artinya pemerintah memegang ”saham” dalam posisi suferior. Hambatan ”politik” membuat seniman dan kesenian ditempatkan pada lapisan paling bawah, bahkan di luar struktur pemerintah dalam membentuk identitas sosial masyarakat, hilangnya peran strategis – jika pun ada dalam posisi marjinal.
Tersendatnya dinamika perkembangan karya cipta seni (seniman) secara progres – kompleks dan melahirkan tradisi ”baru”, juga disebabkan warisan lama dalam pemahaman dan aplikasi ”kekerabatan”, sampai hari ini memberi jejak, mengakar hingga kini. Sehingga muncul sikap skeptis – apatis dalam konsepsi maupun teknis untuk merekonstruksi atau merevitalisasi karakteristik masyarakat dalam setiap dimensi sosialnya. Menyangkut hal yang lebih substansial, yakni visi dan pandangan mengenai bagaimana seni (seniman) dapat memberi konstribusi nilai positif terabaikan bahkan jauh dari harapan.
Kepres No. 84 tahun 1999 tentang pemanfaatan seni dan budaya. Makna pemanfaatan di sini menjadikan seni sebagai objek bagi pemerintah. Celakanya, dimanapun objek selalu menjadi pihak yang dirugikan, secara etika – moral dan tradisinya. Seperti pemanfaatan seni bertujuan meningkatkan upaya pengembangan kepariwisataan dalam rangka kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini pemanfaatan seni menjadi alternatif industri yang dapat menambah retribusi pendapatan pemerintah. Konsekuensi logis, melahirkan seni sebagai objek komoditas, profan – hiburan dan barang dagangan yang dikemas dan dipasarkan. Fenomena ini memicu terjadinya konflik bagi ideologi seniman dalam memperjuangkan nilai-nilai humanisme universal. Akhirnya seniman berteriak – kami bukan ”pelacur” dan bukan sumber daya yang dapat dieksploitasi semaunya.        
            Keberadaaan seni (seniman) dan pemerintah bermakna paradoks dalam posisi berlawanan. Disatu sisi; bisa membutuhkan (pengadaan program dan permintaan anggaran), di satu sisi saling berseberangan (sifat dan filsafatnya). Pemerintah (birokrasi) bersifat struktural – vertikal (intruksional), sementara seni (man) bersifat sosial-horizontal (empiris, inspiratif dan interpretatif). Keduanya paradoks, bisa saling menghargai, bisa saling menguntungkan sekaligus meruntuhkan. Dua hal yang ternyata sulit ”disandingkan”, sebab kesenian tumbuh dari suatu proses kesadaran pangalaman empiris, dari berbagai hal: phisik dan phisikis, baik terencana maupun spontan/ improvisasi. Mustahil pemerintah menjalankan sistem birokrasi dengan menganalogikan sistem filosofis seni, demikian juga seniman dalam konteks melahirkan suatu produk budaya, tidak mampu mengikuti prinsip-prinsip sistem birokrasi pemerintah.
Sehingga dalam perspektif historis dari masa Orde Baru – pasca tsunami dan pasca konflik, kecenderungan pemerintah memandang kesenian dan seniman ada tinggi ada rendah, ada di depan ada di belakang, ada anak kandung ada anak tiri. Pandangan ini dalam praktiknya tercermin kuatnya doktrin paham feodal yang dipraktikkan jauh sebelum pasca tsunami dan pasca konflik. Realitas faltualnya adalah; didirikan sanggar seni dalam alur struktur birokrasi pemerintah dan sumber dananya berasal APBD. Selain itu berbagai kelompok atau individu seniman lebih banyak ”ditunangkan” – tertutupnya ruang dialogis – demokratis, bahkan dieliminasi dari habitat aslinya hingga konflik horizontal terjadi yang mengakibatkan seniman tidak saling mengenal dan memahami atau tidak saling peduli. 
Terkait dengan biaya produksi bagi seniman produk budaya ”serius”. Dari pengamatan dan pengalaman empiris, ternyata dukungan dan pembiayaan produk seni ”serius” lebih banyak bersumber dari swadaya bersama – personal bahkan dari kalangan kerabat seniman yang berempati. Kalaupun ada bantuan dari pemerintah  hanya bersifat ala adanya. Lain hal bagi kerabat dekat yang jitu dalam memanipulasi dan merekayasa ”bahasa”, hal ini menyuburkan konspirasi kekerabatan bernilai negatif (KKN). Ditambah lagi dengan pajak sebagai sumber retribusi daerah dari biaya penyewaan fasilitas publik (gedung) dan publikasi yang semakin menggigit. Bagi penulis pajak sebaiknya diperuntukkan bagi seni yang bersifat hiburan atau ada kepentingan produk dari rekayasa kapitalis. Tidak baik jika pajak diperuntukan bagi pertunjukan seni sebagai produksi kultural, dari olahan dan pembentukan hasil penggalian dan eksplorasi panjang dengan tujuan pencapaian kualitas estetik artistiknya.. Bagi produk budaya melalui pertunjukan seni ”serius” lebih banyak menghabiskan uang dan bukan untuk mengumpulkan uang.

Potret buram ini diperparah dengan subsidi terhadap kesenian, lebih dianggap sebagai ”beban” dari pada ”kewajiban” pemerintah. Artinya pengalokasian dana untuk kerja-kerja kreatif (penciptaan) seniman bukan dipandang sebagai ”hak” tapi lebih dianggap ”belas kasih” atau sebagai politik tutup mulut. Pada hal tempo dulu segala pembiayaan seni, umumnya berasal dari para raja, agamawan, dan bangsawan. Pada masa itu, para seniman tidak hanya diberi penghidupan yang layak, tetapi diangkat sebagai pegawai kerajaan, diberi lahan garap dan diberi gelar kebangsawanan atas dedikasi dan prestasi dalam karya ciptanya.
Kondisi ini diperparah dengan kedudukan mata pelajaran kesenian di sekolah dalam setiap jenjang. Mata pelajaran kesenian menjadi terpinggirkan dan menjadi minoritas. Pelajaran kesenian dianggap tidak penting hanya tambahan belaka, bahkan ada disebagian sekolah, pelajaran seni diganti dengan pelajaran matematika, IPA, komputer, bahasa Inggris karena dirasa lebih penting. Pada hal pendidikan seni dengan segala fungsinya dapat mengarahkan seseorang lebih beradap, memiliki nilai estetik dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah hidupnya dan akhirnya dapat meredam munculnya penyakit jiwa – kesalehan sosial.  
            Sebagai penutup, tulisan ini hanya untuk mendengungkan kembali permasalahan klasik, untuk suatu harapan yang tidak pernah sampai tentang bagaimana eksistensi penghargaaan kesenian (seniman). Posisi inferior kesenian (seniman) akan mengalami kontinuitas jika seniman memiliki kesadaran politik untuk ”melawan” – memperjuangkan hak konstitusional. Bukankah suatu kompetisi menawarkan berbagai kemungkinan, suatu posisi seimbang?. Kemenangan tidak datang tanpa upaya, kemenangan harus direbut. Dalam koreografi; tubuh harus ditakhlukan dan dikuasai dengan kesadaran ruang dan waktu agar tercapai kualitas estetik artistik jauh melampaui logika dan emosi penikmat (penonton).

Penulis Ketua Sanggar CakraMata (Koreografer)
 Alumni Pasca Sarjana ISI Surakarta


SELASA, 09 NOVEMBER 2010

Menggelar Karya Seni - (BANDAR WISATA ISLAMI 2011)


Berbagai bentuk penyajian seni stiap sabtu dan minggu, dipusatkan di Taman Putro Phang terkesan ”gamang” - tanpa arah. Bersamaan ”kucar-kacir” para pelaku seni (seniman). Hal ini merupakan konsep dan misi Walikota Banda Aceh menjadikan kota Banda Aceh sebagai Bandar Wisata Islami Indonesia tahun 2011. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh sebagai Penyelengara dibawah kordinasi EO. Realitas ini menawarkan berbagai kepentingan kelompok, bertendensi politis, bersamaan dengan pertarungan "harga diri" dari para penguasa dan pengambil kebijakan.
Memasuki arena penonton berkapasitas ± 500 orang, dengan sesak dan gerah. Luas arena ± 3 hektar, dengan panggung sebesar 6 x 8 m, sound sistem ± 10.000 watt, tanpa pencahayaan. Zona tersebut dikelilingi tratak dan umbul-umbul, menciptakan suasana semakin gerah dan sembraut. Festival seni (eksibisi) bercorak pesta kesenian rakyat, tidak menjual tiket, pengunjung bebas menyaksikan, pargelaran dari berbagai kelompok/ sanggar seni dengan materi tari tradisional dan kreasi.   Jejeran umbul-umbul memberi citra produk kapitalis – menyihir pola laku “instans dan konsumtif”. Beragam nilai sosial lebur dalam relasinya dari kelas ekonomi menengah ke atas sampai menengah bawah - berbagai status sosial masyarakat. Biasanya acara serupa ini di buka pasar tradisi dan modern untuk memancing sesak pengunjung. Tampat bermain anak-anak penuh, disinggahi oleh orang tua dari sudut kampong dan desa.
Pargelaran seni ini memberi kesan "asal jadi". Munculnya sekelompok penari seirama dengan tabuhan rapa’i. kostum kuning variasi hijau, memakai ikat kepala – bergerak atraktif, rampak, dinamis dan melelahkan; sebagai representasi dan transformasi aktivitas sosio religi masyarakat abad akhir 14 M - ”dzike dan geleng maulod”. Dua orang aneuk cahe dengan mick, kostum hitam (tradisi bangsawan Aceh), berdiri di sudut depan kiri panggung, menyanyikan syair-syair yang telah dipersipakan. Selanjutnya muncul kelompok lain, dengan  kostum merah dengan make-up panggung, bergerak dalam konstruk alur dramatik (lambat – sedang – cepat), walau cenderung kehilangan ”ruh” tradisi ”aslinya”. Ini akibat dari kurang waktu persiapan dan proses untuk menjadi penari. Menjadi penari dituntut untuk memiliki energi ekstra, gestur proporsional dan elastis, kualitas intelegensi dan emosional, memiliki teknik gerak, kesadaran ruang dan mampu mengolah emosi.
Seluruh penyaji dari berbagai kelompok/ sanggar seni, dituntut untuk mengikuti prosedur yang telah dirancang oleh panitia pelaksana (EO). Secara teknis dan bentuk penyajian dituntut untuk ”seragam”, sesuai dengan tujuan acara. Dan  waktu mencukupi, menekan biaya produksi dan meminimalisir konflik kepentingan. Akhirnya setiap penyaji memiliki stilisasi estetik tubuh (gerak) dalam fremis teknik ”mekanis” dan kehilangan ciri khas (ruh) – keunikan tradisi konvensional kerakyatan, yang semestinya sebagai penunjuk identitas kedirian setiap komunal.
Pargelaran seni yang dikemas dalam bentuk eksibisi dari kelompok/ sanggar, menggiring peserta untuk menampilkan suatu standar gerak, alur dramatik dan alur emosi yang sama. Hal ini sangat berbahaya bagi kesenian tradisional dengan nilai makna, keberagaman, solidaritas integralitas sosial dan juga bagi standar-standar estetik artistik dalam konsep tradisional. Situasi ini cenderung mendekonstruksi nilai-nilai dan makna tradisi klasik masyarakat yang bersifat egaliter Islami. Artinya dalam perspektif konsepsi tradisi kerakyatan (khusus Aceh), keseragaman waktu dan bentuk penyajian  memiliki maknai ”membunuh” akar tradisi yang ada atau substansi ke-tradisian itu sendiri.

Dalam konteks Visit Banda Aceh Year merupakan salah satu  bentuk upaya pemerintah terkait dengan penyajian seni telah menjadikan seni tradsional dalm suatu produk yang hanya mementingkan nilai hiburan, dan menghilangkan nilai normatif dan etika sebagai basis penyanggah nilai sosial masyarakat. ”Keseragaman” telah menghilangkan karakter unik, orisinalitas masyarakat tradisi dan ke-dalaman nilai hayatan adi luhung masyarakat Aceh tempo dulu.
Seperti ”buah simalakama’”. Begitulah gambaran ketika seni tradisi rakyat,  digiring dalam konsepsi ”seragam” dalam bentuk penyajiannya. Penyaji dilarang ke luar dari prosedur dan makanisme EO. Akhirnya terus mengalami degradasi lapisan-lapisan bersifat konseptual (kontekstual) dan tekstual atau nilai intrinsik dan ekstrinsiknya.
Idealnya suatu pencapaian kualitas estetik artistik dalam konsep masyarakat Aceh baik personal maupun komunal bukan sampai kulit atau simbol-simbol yang semu dan hanya memikirkan keberhasilan kemasan pertunjukan yang bersifat hiburan, tetapi kualitas estetik artistik tersebut mampu memberi daya gugah dan kesadaran penikmat (masyarakat) dalam menjawab problematik dalam setiap dimensi kehidupan sosial itu sendiri. Kualitas estetik dalam konteks seni tradisional merupakan suatu tanggung jawab sosial dan moral bagi pemerintah, para pelaku dan masyarakati dalam bentuk pengabdian akan nilai-nilai sosial masyarakat - religius. Artinya dalam fenomena sosial sekarang ini, nilai esensi tradisi komunal yang telah mengakar dalam kehidupan tempo dulu telah kehilangan fungsi nilai hayatan, penyeimbang dalam berbagai problem dapat dikembalikan dalam setiap dimensi sosialnya.
Misi Wisata Islami Indonesia bertendensi nilai politik dibungkus dengan konsep keberlanjutan dan pelestarian, melahirkan kerugian bagi para pelaku seni yang masih memegang kukuh pada nilai-nilai tradisi. Festival dan lomba seni tradisi membawa konsekwensi dua arah berlawanan (situasi paradoks); 1) ada yang hilang ”tercerabutnya akar pijakan”, 2) ada yang muncul menggantikan nilai “lama”. Situasi demikian akan tercipta masyarakat urban yang semakin materilistik dan individualis serta menciptakan suasana konflik horizontal, terkait hiruk-pikuk nilai finansial (oreintik materi) yang mengalir saat berlangsung acara yang tidak memberi arah wajar bagi identitas dan kedirian seni tradisi Aceh ke depan.
Misi “Bandar Wisata Islami Indonesia”, hanya pencitraan bagi pembangunan ekonomi, politik dan budaya urban perkotaan yang ambisius dengan paradigma ”penjajahan struktural”. Suatu jargon jebakan bagi kelompok seni dan masyarakat untuk masuk dalam satu lubang sempit dan dangkal. Misi Bandar Wisata Islami 2011 berpotensi terjadi konflik horizontal yang direpresentasikan melalui aktivitas estetik tanpa memiliki frems work yang jelas, arah tujuan dan sasaranya, hingga proses dekonstruksi karakteristik – identitas sistem sosio budaya tradisi (seniman) tidak dapat dielakkan. Pertunjukan seni dalam rangka visit Banda Aceh Year, membuka kran liberalisasi – kapitalis untuk terus melakukan eksploitasi melalui kuasa politik dan ekonomi secara serimonial formal dengan konspirasi yang dilegalkan. Visit Banda Aceh Year 2011 membuka jalan menuju sistem budaya yang semakin profan dan hedonistik, sekaligus menyingkirkan konvensi komunalitas dan kesadaran partisipasi masyarakat (seniman) tradisi sebagai pemilik sah warisan budaya........????.
Penulis Ketua Sanggar CakraMata (Koreografer)
 Alumni Pasca Sarjana ISI Surakarta




Manfaat Pembiasaan Budaya Tulis Sejak Dini:
Anakpun Bisa Jadi Penyair

Oleh: Muhammad Fadhli


Ada banyak pilihan untuk mendidik anak. Salah satu yang mungkin akan memberikan efek luar biasa positif adalah, mendekatkan anak ke dunia sastra. Nyatanya, pendidikan yang diberikan melalui jalur sekolah telah membuat 3 bocah ajaib asal Padangpanjang ini, berinisiatif untuk membuat antologi karya sastra mereka berupa puisi dengan judul “Negeri di Atas Langit”. Gebrakan luar biasa yang diunggah 3 bocah yang duduk dibangku SD ini dalam menghidupkan gairah sastra di Kota Serambi Mekkah. Kuncinya menurut orang tua mereka adalah kegigihan dalam mengenalkan budaya menulis dari dini.

            Tergabung dalam Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Soeryadarma Isman (8,5 tahun), Shania Azzira (11 Tahun), dan Shalsabilla O'neal Dhiya Ulhaq (10 Tahun) mengaku sangat terinspirasi dari karya-karya puisi yang mereka konsumsi “kami sudah dibiasakan untuk membaca puisi. Maka kami juga ingin menulis,” Kata Shania yang masih tercatat sebagai siswa kelas 5 SD Negeri Gantiang Padangpanjang. Sementara, O’neal lebih memilih sastra khususnya karena bisa membuat nyaman. “Saya senang membuat puisi. Saya gembira seperti sedang bernyanyi-nyanyi ketika menulis puisi,” Kata bocah kelas 4 SD Negeri Balai-Balai Padangpanjang itu.
            Lain lagi dengan Soerya. Darah penyair mengalir ditubuhnya, karena sang ayah memang sudah lama dikenal sebagai salah seorang penyair asal Aceh yang kini menetap di Padangpanjang. Namun, Soerya mengaku keinginan untuk menulis lebih kuat dari dirinya, bukan semata-mata karena nama besar ayahnya. “Ayah suka membaca puisi. Saya suka mendengarkan. Tapi saya lebih suka membuat puisi sendiri,” Kata Soerya yang mengaku penggemar Taufik Ismail.
            Begitulah ketiga bocah ini dengan polos memahami apa yang mereka geluti saat ini. Sulaiman Juned, pengasuh Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, mengaku sangat terkejut ketika melihat karya ketiga bocah ini berkembang dari waktu ke waktu. “Memang gairah sastra pada diri mereka sudah terlihat dari awal bergabung. Namun, potensi yang terpendam itu tentu harus terus diasah dan diarahkan. Berkat dukungan dari masing-masing orang tua, ternyata mereka memberikan kejutan dengan menuntaskan menulis 50 puisi,” Kata Sulaiman.
            Dengan modal masing-masing 50 puisi itulah Soerya, Shania, dan O’neal akan mengusung sebuah buku yang mereka beri judul “Negeri di Atas Langit.” Setelah melalui proses penggonjlokan dari para pembimbing di Komunitas seni Kuflet, berikut saran-saran dari orang tua, akhirnya bahan dasar untuk buku itu rampung. “Kami juga akan dibantu Dinas Pendidikan Kota Padangpanjang dengan menanggung seluruh biaya cetaknya untuk menerbitkan buku anak-anak ini,” Ungkap Sulaiman.
            Budaya menulis yang diperkenalkan kepada ketiga bocah SD tersebut menjadi sebuah pembelajaran yang kemudian membantu mereka untuk lebih menjaga budi pekerti.
            “Kami sangat merasakan bagaimana mereka menjaga sopan santun dan keramahan dalam berbicara. Kami yakin, ini adalah karena mereka sangat dekat dengan sastra sebagai teladan bahasa,” Kata ibu O’neal.
            Proses awal dengan memperbanyak bahan bacaan, diakui Sulaiman Juned sangat efektif memancing minat bocah tersebut. “Selain itu, anak-anak ini sering diikutkan dalam berbagai perlombaan baca puisi. Bahkan mereka pernah terlibat dalam pementasan akhir karya pascasarjana seorang dosen ISI Padangpanjang, juga sering pentaskan puisi di BiTv (Bukittinggi Televisi),” Kata Erianto Ketua Komunitas Seni Kuflet.
            O’neal yang cukup berprestasi di sekolahnya. Awalnya adalah anak yang pemalu.Namun dengan banyak mengikuti ajang lomba baca puisi, O’neal menjadi sangat bersemangat untuk tampil di depan umum. Perubahan ini juga mewarnai puisi-puisi yang ditulisnya.
Soerya yang menjadi satu-satunya penulis laki-laki dalam trio penyair cilik ini, juga mengaku sangat bersemangat setiap kali dihadapkan pada agenda lomba. “Rasanya mau meraih juara saja. Awalnya takut, lalu berani sendiri,” Kata bocah ini polos.
Shania yang paling senior menganggap, perlombaan sebagai tantangan untuk dirinya. “Saya tahu ada banyak orang yang akan menilai saya tampil. Bukan saja juri, tapi juga para penonton yang berbaris di depan saya. Tapi itu menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa saya layak untuk mereka saksikan,” Kata dara jelita hitam manis ini.
Memang banyak kendala untuk memulai menulis. “Kadang-kadang saya merasa jenuh. Kadang-kadang saya merasa terbebani. Tapi lama-lama asyik sendiri kok,” Kata Soerya. Bahkan kini Soerya mengaku tidak bisa lelap sebelum menulis sebuah puisi.
Tradisi saling membacakan karya mereka masing-masing juga turut menumbuhkan minat menulis anak-anak brilliant ini. “Kalau Shania lagi bacain puisinya, saya jadi iri lalu membuat puisi sendiri,” Kata O’neal. Berdasarkan budaya kompetitif yang positif ini, mereka juga saling menguatkan. Kadang bila salah satunya tiba-tiba jenuh menulis, yang lain datang untuk menguatkan. “Kalau semuanya jenuh, tentu giliran kami selaku pembimbing untuk memberikan motivasi,” Kata Sulaiman.
Namun, tentu saja anak-anak ini tidak dengan serta merta kehilangan  dunia bermain mereka. Mereka tetap saja anak-anak biasa yang membutuhkan waktu untuk bercanda ria bersama-sama temannya.
Kadang-kadang canda ria itulah yang member mereka inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan ada pula momen pergaulan yang mereka jadikan beberapa puisi. Jadi permainan itu sama sekali tidak sia-sia, sekadar membuang waktu saja. Pada dasarnya, jika dilihat dari karya mereka ada beberapa pelajaran tentang apa yang menginspirasikan puisi itu tercipta. Baca saja puisi karya Shalsabilla O’neal Dhiya Ulhaq berjudul Nenek: //Dulu bermain bersama/ bercanda ria/engkau tak pernah marah/ kini/ tak dapat rasakan kasih sayang/ karena engkau jadi pesakitan/ aku selalu berdoa//.
Dalam puisi tersebut, O’neal mengungkapkan rasa kasih sayangnya kepada sang nenek, yang sedang terbaring lemah dalam keadaan sakit. Empati yang tumbuh terus terasa dan bahkan tertuang dalam bentuk sebuah puisi. O’neal mengaku, ketika menulis puisi tersebut, ia sempat terisak iba. Namun, ia kembali bahagia setelah melihat senyum si nenek membaca puisinya.
Lain lagi dengan Shania Azzira mari simak puisinya yang berjudul Angin://Tiupan angin membisikkan kabar/menyentakkan luka/ tangis saudaraku dalam bencana/ Cobaan hidup tiada henti/ kita harus sadar, teguran sang Kuasa/ topan, banjir, longsor/ bahkan guncangan dasyat/ meluluhlantakkan serambi bumi// Aku rindu angin damai/ membelai lembut hati/ lalu menyisakan alam hancur lebur//
Shania terinspirasi oleh kejadian disekitarnya. Dalam puisi tersebut, Shania seolah mencoba menyatu dengan “kehendak angin” itu sendiri. Apa yang dirasakannya, seperti dayungkan dan dihilirkan oleh angin yang menurutnya adalah penjelajah, penghibur sekaligus pembawa pertanda-pertanda.
Soerya ternyata lebih berciri polos dalam mengungkapkan perasaannya. Baris-baris puisi yang ia gelontorkan dalam tulisan terasa lebih “jujur” sesuai dengan kekanakannya. Coba kita nikmati puisinya berjudul Riang: //Setiap liburan sekolah/ abi dan emak selalu mengajak aku jalan-jalan/ keliling kota Padangpanjang-Bukittinggi naik vespa/ menghabiskan waktu bermain game/ menyenangkan hati yang susah// Setiap liburan sekolah/ aku rindu nenek di Aceh, tapi kami tak bisa pulang/ sebab jika aku yang libur sekolah,/ abiku masih bekerja dan ketika abiku libur kerja,/ aku mulai sekolah lagi/namun kami sering keliling Sumatera Barat/ menyaksikan Danau singkarak, Danau Maninjau, Danau kembar/ menelusuri indahnya kebun teh di Alahanpanjang/ menghibur hati yang duka agar riang dan gembira//
Dalam puisi itu, ada sebuah narasi yang tidak ingin dilupakan Soerya. Ada kenangan yang selalu ingin ia ingat. Ada kegembiraan khas anak-anak yang begitu kuat bertahta di hatinya.
Tiga puisi ini hanya sebagian dari 150 karya Shania, Soerya, O’neal. Kiranya karya mereka dapat menjadi pembelajaran bagi para orang tua untuk menanamkan budaya tulis sejak dini.

Catatan: Tulisan ini dimuat di Harian Posmetro Padang, Minggu 7 Nopember 2010            

Soeryadarama Isman, Shania Azzira, dan Dhiya Usai baca puisi pertunjukan di BiTv Bukittinggi.


PENTAS AMAL KOMUNITAS SENI KUFLET DI RUANG PUBLIK SUMATERA BARAT

“Ziarah Bencana” Pentas Amal Komunitas Seni Kuflet:
Saling Berbagi Menyembuhkan Luka

Oleh: Sulaiman Juned *)

             //Hati membatu/ Luka membisu/ Hati berlagu/ Luka membeku/ Bulan tembaga/ Tertusuk runcing ilalang//  nyanyian itu bergemuruh mengawali sebuah pertunjukan teaterikal puisi bertajuk bencana sengaja digarap Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat berjudul “Ziarah Bencana" Karya Sulaiman Juned disutradarai Oleh Erianto. Pertunjukan ini sengaja pula dipentaskan di tengah pasar, terminal bus, dan pusat-pusat perbelanjaan, serta dilokasi wisata untuk menggalang dana bagi masyarakat yang tertimpa bencana, khususnya Mentawai. Senin  yang lalu, 22/11/2010, dan Jumat, 26/11/2010 bertepatan dengan  hari pasar (pekan) pentas diadakan di terminal bus Padangpanjang, dan di tengah keramaian kota. Sedangkan di Bukittinggi dilaksanakan  pertunjukan itu, pada sabtu, 18/12/2010  di lokasi Wisata Jam Gadang, dan  di Pusat Perbelanjaan Ramayana.
            Pertunjukan itu dimainkan oleh sebelas aktor, ada nuansa magis ketika musikalitas puitikal dikawinkan dengan musik perkusi tubuh. Disinilah letak kekuatan dari pentas amal itu, tak perlu ada alat musik, para aktor hanya
mempergunakan tubuhnya sebagai medium musik. Tepuk didong (Seni Gayo, Aceh) sangat memukau penonton. Belum lagi gerak teater tradisi Gayo guel juga menghipnotis penonton. Sehingga pertunjukan amal itu membuat sesuatu yang berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan lainnya yang dilakukan di ruang publik.

            Ketika Teaterikal puisi di gelar di tempat wisata jam Gadang Bukittinggi, Sri Masrijal pedagang kaki lima, sambil berjualan menyaksikan pertunjukan tersebut mengatakan “pertunjukan seperti ini  harus sering dilaksanakan agar dapat mengetuk hati para pejabat, dan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk menyumbangkan hartanya bagi kemasyalatan ummat” Tuturnya sambil memberi aplous.
Sementara pertunjukan  di Pusat Perbelanjaan Ramayana Bukittinggi, Boy seorang pengunjung Ramayana menyatakan “Aku saya mendukung kegiatan Komunitas Seni Kuflet. Komunitas seni biasanya hanya melakukan pentas di gedung-gedung pertunjukan tanpa mau memberikan apresiasi langsung ke tengah masyarakat. Hari  ini saya sangat terharu menyaksikan pertunjukan dari kuflet, betapa tidak sebuah komunitas yang sudah ternama di Sumatera Barat mau melakukan pertunjukan di jalan-jalan untuk menggalang dana bagi masyarakat kita di Mentawai” Tuturnya sambil menghapus air mata.
Pertunjukan berdurasi dua puluh lima menit dimainkan oleh Alam, Awaluddin, Ridwan, Iwan Rahmat, Sahrian, Saniman, Anshar Salihin,  Sabda, dan Rika Silviani, serta Afleni. Puisi itu ada yang dinyanyikan dengan suasana yang menyanyat hati. Terkadang dibacakan dengan suara lantang, seperti memberikan pernyataan kepada masyarakat agar selalu ingat kepada sang khalik. Hidup ini hanyalah sementara.

Teaterikal puisi ini memiliki kekuatan moralitas, dan spritualisme yang tinggi dalam menawarkan kepada manusia untuk introfeksi diri, janganlah bermain-main dengan dosa agar manusia menjauhi larangan-Nya.  Tuhan tidak membutuhkan kita, tapi kitalah yang membutuhkan Tuhan. Kalau manusia sudah berani bermain-main, maka akan datang balasan dari Allah melalui ‘kerinduan-nya’ mendatangkan bencana. Inilah kajian spritualitas sebagai sebuah tawaran pertunjukan teaterikal puisi kepada makhluk yang bernama manusia.
Teaterikal puisi ini memang layak kita baca sebagai sebuah pertunjukan untuk memperkaya batin dalam menikmati derita dari hasil mengais hidup di dunia, lalu membawa pulang ke akhirat. Maka, layaklah untuk kita renungi bersama. Mari kita simak penggalan puisinya: //Aku ziarahi negeri air mata. Kampung-kampung terkepung luka-rinai tempias ke wajah semesta mengeram di jiwa/Aku hanya mampu mencatat keping duka dalam senyap jerit, di kenang jadi pelajaran menuju Tuhan/ Aku ziarahi negeri air mata. Kecemasan dan ketakutan mengurung jiwa. Seperti rentak tangis bersahutan sesak/ Masih lekat diingatan tentang Aceh dilipat air raya karena gempa/ Yogyakarta luluhlantak-Pesisir selatan Jawa rubuh/Minangkabau diratakan gempa di ruang senja/ Aroma kematian menyekap pikiran dalam timbunan tanah dan beton/  Apalagi yang tersisa selain doa-doa ditasbihkan menembus langit memetik bulan. Tuhan menegur kita dengan cinta-Nya//

            Benar, Tuhan sedang menegur kita. Maka marilah kita bercermin pada wajah kita. Pentas Komunitas Seni Kuflet mengingatkan kita agar tak lupa mengeja nama Ilahi. Malam tahun baru nanti  Kuflet juga pentas amal di ruang publik  kota Padang. Menurut sang Sutradaranya Erianto, Teaterikal Puisi ”Ziarah Bencana” akan dibawa pentas di kota-kota Kabupaten di Sumatera Barat. Bravo Kuflet! Teruslah berbuat bagi anak bangsa, dan negara.

*) Penulis adalah penyair, kolumnis, sutradara teater, dan dosen Jurusan Teater ISI Padangpanjang, serta Pendiri/Penasehat Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, juga Dewan Penasehat PPWI Cabang Padangpanjang, Sumatera Barat.




SETELAH KEPERGIAN TEUNGKU ADNAN PMTOH: 
Teater Tutur PMTOH Tanggung Jawab Siapa

Oleh: Sulaiman Juned *)



            Lima puluh tahun bersolo karier, (Almarhum) Teungku H. Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia dalam usia 75 tahun, pada tanggal 4 Juli 2006), belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semacabakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem  berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderiaseperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan  Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i,pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan proferti mainan anak-anak, serta kostum. Proferti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set(proferti tangan yang banyak fungsinya), dan Efek Alinasi (Memisahkan penonton dari peristiwa panggung, sehingga mereka dapat melihat panggung dengan kritis). Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat merubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton. 
            Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan pekerjaannya disamping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut  membuat saya terkesan. Maka dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba , dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, saya memulainya dengan menirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti ramai, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H” (Wawancara dengan Tengku Adnan, 14 April 1999 di Blang Pidie, Aceh Selatan)  
            Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur Dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan Hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan P.M.T.O.H.
            Andaikan membicarakan tentang teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh ‘hikayat’ yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutradara menuju realita teater (pertunjukan). “Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’ (cerita). Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sajak (puisi) di sebut hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh karena menjadi seni pertunjukan” (Budiman Sulaiman, Kesusasteraan Aceh, Banda Aceh: Unsyiah Perss, 1988).
            Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat. .             Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya, “adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, diantaranya; Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti; sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti; Nalam, Sipheut Dua Ploh.  Tentang adat istiadat;Sanggamara. Hikayat tentang dongeng; hikayat Gumbak meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur, Apa dan Bagaimana Lagu Pop Aceh, Jurnal Palanta, nomor 6 Maret 2000).  
            Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau Dangderia . Ia sanggup menghafal 9 (Sembilan) buah hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 (Tujuh) malam berturut-turut. Tuhan memang maha kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan, beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang sama ditempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.
            Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Proferti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee (Seorang Ulama di Aceh Selatan yang lumpuh), lalu  dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan inprovisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri.
            Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu  Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) dikiri dan disebalah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berinprovisasi dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti; Zulkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun.
            Seorang juru bicara “penyihir” yang mampu memberikan pesona seni peran. Suatu hari dalam Hikayat Malem Dewa ia brubah peran dengan sigap. Lima detik pertama ia mengekspresikan wajah genit, matanya berkedip-kedip. Mengenakan sepotong selendang, sebuah wig, ia pun menjelma menjadi tokoh Puteri Bungsu, putri yang jelita dari khayangan. Lima detik kemudian, ia berganti peran menjadi pemuda gagah siap bertempur memperebut puteri Bungsu. Sepotong pedang terhunus di tangan, topi baja melekat di kepala. Sementara mulutnya tak putus-putus ia derukan kisah pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri di atas awan untuk menemui kekasihnya. Berbagai karakter dengan cepat saling berganti di tubuh dan suara Teungku Adnan. Ia dapat menjadi Hulubalang, laskar Aceh, jadi nenek penjaga gubuk Buntul Kubu, pemuda yang mencuri baju sang puteri atau seorang anak yang merindukan sang ibu. 
            Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman ‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau; “Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke Sekolah dasar. Di SD ada mata pelajaran Hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangankan, hanya jawaban basa-basi” (Wawancara dengan Teungku Adnan, 20 Januari 1989 di Trieng Gadeng, Pidie, Aceh).
            Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita tanpa mewariskan P.M.T.O.H kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun.  Teungku Adnan, benar. Bukan hanya Aceh yang kehilangan sang “Traubadur Dunia” Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi, sebab tak mau merawat penerus pencerita  Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang Traubadur. Lalu 900 tahun kemudian diseluruh dunia hanya di Aceh  muncul kembali seorang “traubadur dunia” yakni Teungku Adnan. Sayang masyarakat, dan pemerintah  Aceh tidak mau peduli. Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang traubadur seni tradisi yang luar biasa itu. Entahlah, kita hanya mampu berharap.

                                                                                           Rumah Kontrakan, Padangpanjang, 4 Januari 2011

*)  Penulis adalah penyair, cerpenis, dramawan, sutradara teater, pendiri/penasehat Komunitas Seni Kuflet Pandanpanjang, dan Dosen seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, serta Dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat, Padangpanjang.
     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung di Blog Sagoe Aceh..
Kami mohon kritik dan saran serta masukan ide kreatif untuk perkembangan Bog ini.
Silahkan kirim artikel, puisi dan tulisan apa saja yang membangun kearifan, untuk dipublikasikan di blog ini. Saleum Budaya..

Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner SekolahFOREX.Net
Get Chitika | Premium
 
Copyright 2011© Sagoe Aceh. Design by dezier